Seni merupakan keindahan yang tiada tara, banyak hal yang dapat dimasuki oleh seni seperti agama, politik, dan tentunya budaya. Seni bagaikan pengkristalan apa yang menjadi angan-angan, harapan, cita-cita bahkan nilai manusia. Musik adalah salah satu karya seni yang telah lama ada menghiasi dunia ini. Alunan nada dan lirik musik yang bersatu seakan-akan sang penikmat seni ini bisa berhalusinasi dalam alur nada dan lirik musik tersebut.
Indonesia
adalah negara yang kaya akan budaya, sehingga dapat dipastikan tak sedikit
budaya meminjam seni dalam mengekspresikannya. Lagu Genjer-Genjer adalah musik
yang fenomenal di Indonesia, lagu ini ada dengan lirik dan nada yang sangat
merakyat. Bukan hanya merakyat, lagu ini sebenarnya adalah sebuah pengabadian
kejadian dan pengalaman rakyat Indonesia.
Sejarah lagu genjer-genjer
Sebelum
tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur) merupakan daerah yang
sangat subur dan makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa kekurangan.
Namun semenjak kedatan
gan Jepang ke Indonesia (1942-1945), keadaan berubah
sebaliknya. Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama pria),
ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha (kerja paksa ala
Jepang), untuk di kirim ke seluruh daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo
China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ). Mereka dipekerjakan di camp
militer Jepang yang sedang berperang dengan sekutu waktu itu.
Akibat
ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi tidak terurus. Banyuwangi menjadi
daerah yang miskin hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak masyarakat
menjadi kelaparan hingga meninggal dunia. Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus
mengolah daun genjer (limnocharis flava), sejenis eceng gondok, untuk dijadikan
makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya
terdapat di sungai, dianggap sebagai tanaman gulma atau pengganggu dan
sebagai makanan hewan ternak seperti ayam dan babi.
Situasi
sosial semacam itulah yang akhirnya menjadikan
seorang Muhammad Arief, seniman angklung asal Banyuwangi,
terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu berjudul "genjer-genjer"
sekitar tahun 1942/1943, pada saat istri Muhammad Arief, Ny.
Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer kepadanya.
Lagu
ini menceritakan tentang keadaan masyarakat miskin di Banyuwangi kala itu, yang
sampai harus makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu ini juga
merupakan bentuk sindiran buat penguasa Jepang yang sudah membuat masyarakat
Banyuwangi menjadi miskin. Lagu "genjer -genjer" diadaptasi dari lagu
rakyat berjudul “Tong Alak Gentak”
ali-ali moto ijo, yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi. Dengan
mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya dengan cepat menjadi lagu populer di
masyarakat Banyuwangi kala itu.
Genjer-Genjer Yang
dimusuhi
Sungguh
ironi untuk Indonesia, ketika sebuah seni yang diciptakan oleh rakyat Indonesia
untuk mengkristalkan kejadian akan kepahitan kehidupan pada penjajahan jepang,
malah dalam perkembangannya lagu ini sengaja dibuang dari daratan demi
kepentingan politik yang begitu besar.
Genjer-Genjer
menjadi “Musuh Rakyat”, itulah sebuah perkataan yang tepat setalah pencucian
otak dan dekte penuh zaman orde baru. Pada masa orde baru sangat melarang
segala hal yang berhubungan dengan pemikiran radikal, pemikiran-pemikiran kiri
yang berhalauan sosialis-komunis, sampai-sampai sebuah seni rakyat tega
dijadikan musuh negara dan rakyat hanya karena ada sedikit hubungan dengan PKI.
Padahal pada hakikatnnya lagu Genjer-Genjer ada tidak ada sangkut paut
sedikitpun dengan PKI.
Hubungan
PKI dengan Genjer-Genjer sebenarnya hanya sebatas lagu kampanye untuk menarik
simpati dan meningkatkan popularitas dari rakyat Indonesia. Pada masa itu
banyak partai dengan polarisasi ideologi yang jauh satu sama lain, terdapat seperti
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berideologi nasionalis, Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) yang islamis, Nahdatul Ulama(NU) yang islamis juga
dan Partai Rakyat Indonesi (PKI) yang berideologi PKI.
Ideologi
komunis yang dibawa oleh PKI menjadikan partai ini harus mencari strategi
kampanye yang bisa menarik simpati dan popularitas dari rakyat Indonesia, namun
tetap tidak menghilangkan ciri komunisme. Sehingga dipilihlah lagu
Genjer-Genjer yang menjadi simbol kesengsaraan bangsa atas penindasan, lagu ini
sangat cocok dengan PKI tanpa pikir panjang pada saat Njoto, seniman dan salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan
PKI, memilih lagu “genjer –genjer” dan merekrut seniman Banyuwangi yang ditemui
Njoto pada saat perjalanan keb Bali
untuk masuk dalam LEKRA.
Genjer-genjer
selalu ditampilkan oleh PKI dalam setiap pertemuan dan kampanye partai
teersebut, sehingga lagu ini semakin terkenal dan menjadi identik dengan PKI. Genjer-genjer
semakin terkenal ketika pada tahun 60-an banyak diputar di TVRI dan RRI, serta
dinyanyikan oleh artis terkenal yaitu Adi Bing Slamet dan Lilis Suryani. Kepopuleran
lagu ini yang pada awalnya telah banyak ditampilkan pada setiap acara PKI
menjadikan lagu genjer-genjer identik dengan PKI sehingga populernya
Genjer-Genjer berbanding lurus dengan populernya PKI di mata rakyat.
Permusuhuan terhadap Genjer-genjer
adalah akibat naiknnya rezim orde baru yang lahir karena Peristiwa
"berdarah" Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis
Indonesia. Rezim Orde Baru yang memang "anti-komunisme", menerapkan
politik "bumi hangus", yaitu menghancurkan segala yang berhubungan
dengan komunis. Mulai dari tokoh – tokohnya, orang – orang yang terlibat, anak
cucu dan keturunannya, sampai termasuk semua “produk” yang dilahirkan oleh orang-orang komunis.
Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap “haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.
Dengan
politik bumi hangus tersebut menjadikan lagu Genjer-Genjer yang mempunyai label
PKI dihanguskan dari peredaran dan menjadi seni rakyat yang dimusuhi, bahkan
pencipta lagu Genjer-Genjer yaitu Arifin diculik dan dihilangkan. Rakyat pun
setuju dengan penghapusan lagu genjer-genjer ini, karena telah terkena
propaganda dari pemerintah untuk memusuhi lagu Genjer-Genjer. Propaganda pemerintah
unutk mempengaruhi rakyat adalah dengan pembuatan film Pengkhianatan G 30 S/PKI
karya Arifin C. Noer, yang merupakan “pesanan” Pemerintah rezim Orde Baru.
Seni
rakyat yang tak berdosa, yang harusnya dilestarikan oleh negara, yang tak tahu
menahu akan apa yang diperbuatnya, yang pada dasarnya adalah seni yang dijadikan
untuk pengkristalan pengalaman penderitaan rakyat, tega dijadikan musuh yang
harus diperangi dan dihilangkan dari Indonesia demi kepentingan rezim orde baru.
sungguh ironi untuk Genjer-Genjer, seni rakyat yang dimusuhi.
*Penulis
adalah Faris Imamuddin Ilmi, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Referensi:
-. 2013. Genjer-Genjer Sebuah Lagu Sederhana. www.republikmerah.blogspot.com.
Terakhir diakses pada 02 Desember 2013
0 comments:
Post a Comment