Sunday, 1 December 2013

0 Genjer-Genjer, Seni Rakyat yang dimusuhi*



Seni merupakan keindahan yang tiada tara, banyak hal yang dapat dimasuki oleh seni seperti agama, politik, dan tentunya budaya. Seni bagaikan pengkristalan apa yang menjadi angan-angan, harapan, cita-cita bahkan nilai manusia. Musik adalah salah satu karya seni yang telah lama ada menghiasi dunia ini. Alunan nada dan lirik musik yang bersatu seakan-akan sang penikmat seni ini bisa berhalusinasi dalam alur nada dan lirik musik tersebut.
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, sehingga dapat dipastikan tak sedikit budaya meminjam seni dalam mengekspresikannya. Lagu Genjer-Genjer adalah musik yang fenomenal di Indonesia, lagu ini ada dengan lirik dan nada yang sangat merakyat. Bukan hanya merakyat, lagu ini sebenarnya adalah sebuah pengabadian kejadian dan pengalaman rakyat Indonesia.
Sejarah lagu genjer-genjer
Sebelum tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur) merupakan daerah yang sangat subur dan makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa kekurangan. Namun semenjak kedatan
gan Jepang ke Indonesia (1942-1945), keadaan berubah sebaliknya. Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama pria), ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha (kerja paksa ala Jepang), untuk di kirim ke seluruh daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ). Mereka dipekerjakan di camp militer Jepang yang sedang berperang dengan sekutu waktu itu.
Akibat ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi tidak terurus. Banyuwangi menjadi daerah yang miskin hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak masyarakat menjadi  kelaparan hingga meninggal dunia.  Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava), sejenis eceng gondok, untuk dijadikan makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya terdapat di sungai,  dianggap sebagai tanaman gulma atau pengganggu dan sebagai makanan hewan ternak seperti ayam dan babi.
Situasi sosial semacam itulah yang akhirnya menjadikan  seorang Muhammad Arief, seniman angklung asal Banyuwangi, terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu berjudul "genjer-genjer" sekitar tahun 1942/1943, pada saat  istri Muhammad Arief, Ny. Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer kepadanya.
Lagu ini menceritakan tentang keadaan masyarakat miskin di Banyuwangi kala itu, yang sampai harus makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu ini juga merupakan bentuk sindiran buat penguasa Jepang yang sudah membuat masyarakat Banyuwangi menjadi miskin. Lagu "genjer -genjer" diadaptasi dari lagu rakyat berjudul “Tong Alak Gentak”  ali-ali moto ijo, yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi. Dengan mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya dengan cepat menjadi lagu populer di masyarakat Banyuwangi kala itu.
Genjer-Genjer Yang dimusuhi
Sungguh ironi untuk Indonesia, ketika sebuah seni yang diciptakan oleh rakyat Indonesia untuk mengkristalkan kejadian akan kepahitan kehidupan pada penjajahan jepang, malah dalam perkembangannya lagu ini sengaja dibuang dari daratan demi kepentingan politik yang begitu besar.
Genjer-Genjer menjadi “Musuh Rakyat”, itulah sebuah perkataan yang tepat setalah pencucian otak dan dekte penuh zaman orde baru. Pada masa orde baru sangat melarang segala hal yang berhubungan dengan pemikiran radikal, pemikiran-pemikiran kiri yang berhalauan sosialis-komunis, sampai-sampai sebuah seni rakyat tega dijadikan musuh negara dan rakyat hanya karena ada sedikit hubungan dengan PKI. Padahal pada hakikatnnya lagu Genjer-Genjer ada tidak ada sangkut paut sedikitpun dengan PKI.
Hubungan PKI dengan Genjer-Genjer sebenarnya hanya sebatas lagu kampanye untuk menarik simpati dan meningkatkan popularitas dari rakyat Indonesia. Pada masa itu banyak partai dengan polarisasi ideologi yang jauh satu sama lain, terdapat seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berideologi nasionalis, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang islamis, Nahdatul Ulama(NU) yang islamis juga dan Partai Rakyat Indonesi (PKI) yang berideologi PKI.
Ideologi komunis yang dibawa oleh PKI menjadikan partai ini harus mencari strategi kampanye yang bisa menarik simpati dan popularitas dari rakyat Indonesia, namun tetap tidak menghilangkan ciri komunisme. Sehingga dipilihlah lagu Genjer-Genjer yang menjadi simbol kesengsaraan bangsa atas penindasan, lagu ini sangat cocok dengan PKI tanpa pikir panjang pada saat Njoto, seniman dan salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan PKI, memilih lagu “genjer –genjer” dan merekrut seniman Banyuwangi yang ditemui Njoto  pada saat perjalanan keb Bali untuk masuk dalam LEKRA.

Genjer-genjer selalu ditampilkan oleh PKI dalam setiap pertemuan dan kampanye partai teersebut, sehingga lagu ini semakin terkenal dan menjadi identik dengan PKI. Genjer-genjer semakin terkenal ketika pada tahun 60-an banyak diputar di TVRI dan RRI, serta dinyanyikan oleh artis terkenal yaitu Adi Bing Slamet dan Lilis Suryani. Kepopuleran lagu ini yang pada awalnya telah banyak ditampilkan pada setiap acara PKI menjadikan lagu genjer-genjer identik dengan PKI sehingga populernya Genjer-Genjer berbanding lurus dengan populernya PKI di mata rakyat.
            Permusuhuan terhadap Genjer-genjer adalah akibat naiknnya rezim orde baru yang lahir karena Peristiwa "berdarah" Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia. Rezim Orde Baru yang memang "anti-komunisme", menerapkan politik "bumi hangus", yaitu menghancurkan segala yang berhubungan dengan komunis. Mulai dari tokoh – tokohnya, orang – orang yang terlibat, anak cucu dan keturunannya, sampai termasuk semua “produk”  yang dilahirkan oleh orang-orang komunis. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap  “haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.
Dengan politik bumi hangus tersebut menjadikan lagu Genjer-Genjer yang mempunyai label PKI dihanguskan dari peredaran dan menjadi seni rakyat yang dimusuhi, bahkan pencipta lagu Genjer-Genjer yaitu Arifin diculik dan dihilangkan. Rakyat pun setuju dengan penghapusan lagu genjer-genjer ini, karena telah terkena propaganda dari pemerintah untuk memusuhi lagu Genjer-Genjer. Propaganda pemerintah unutk mempengaruhi rakyat adalah dengan pembuatan film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer, yang merupakan “pesanan” Pemerintah rezim Orde Baru.
Seni rakyat yang tak berdosa, yang harusnya dilestarikan oleh negara, yang tak tahu menahu akan apa yang diperbuatnya, yang pada dasarnya adalah seni yang dijadikan untuk pengkristalan pengalaman penderitaan rakyat, tega dijadikan musuh yang harus diperangi dan dihilangkan dari Indonesia demi kepentingan rezim orde baru. sungguh ironi untuk Genjer-Genjer, seni rakyat yang dimusuhi.
*Penulis adalah Faris Imamuddin Ilmi, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Referensi: -. 2013. Genjer-Genjer Sebuah Lagu Sederhana. www.republikmerah.blogspot.com. Terakhir diakses pada 02 Desember 2013

0 comments:

Post a Comment

 

Saling Berbagi Kebaikan Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates