Thursday, 16 May 2013

0 Hari ini Pragmatisme Pendidikan, Besok apa lagi???*

Melihat dan merasakan sendiri pendidikan dewasa  ini sangat amat melenceng dari substansi adanya pendidikan, ketika pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah kebutuhan asasi manusia untuk menjadi manusia sehingga pada akhirnya bisa berguna bagi manusia dan alam namun telah ternodai dengan pemikiran-pemikiran pragmatis yang menjadikan pendidikan hanya terpaku pada nilai kuantitas bukan kualitas. Masyarakat dan kita sendiri sebagai subjek dan objek pendidikan hanya terpaku pada hal-hal yang pragmatis, ketika kita hidup sebagai “akademisi” hanya memiliki main set masuk kuliah, mengerjakan tugas, ada kuis dijawab, ikut UTS, ikut UAS dan pada akhirnya mendapat nilai A. kemudian ketika dalam aktifitas sehari-hari dikelas para “akademisi” hanya terjebak dalam buaian retorika semu dan gagasan yang menghiasi ruang kelas, dan ketika masa untuk beretorika semu dan gagasan indah dalam ruang kelas itu sudah habis (jam  kuliah selesai) maka seakan-akan burung yang keluar dari sangkar menjadi seorang yang bebas dan melepaskan semua hal yang telah dikerjakan dalam beretorika semu dan gagasan indah di kelas. Realita yang terjadi tersebut dapat disebut sebagai pragmatism pendidikan.
Padahal, pendidikan yang pada hakikatnya adalah sebagai kebutuhan asasi manusia untuk memanusiakan manusia dan untuk berguna bagi manusia dan alam. Lebih jelas lagi menurut Imanuel Khan menjelaskan pendidikan merupakan suatu proses humanisasi yang artinya dengan pendidikan manusia akan lebih bermartabat, berkarakter, terampil, yang memiliki tanggung jawab terhadap sistem sosial sehingga akan lebih baik, aman dan nyaman. Ditambah lagi bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantoro menggambarkan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Intisari dari kedua ahli tersebut adalah pendidikan adalah proses humanisasi agar lebih berkualitas sehingga bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
Merujuk pada hakikat pendidikan seperti yang telah dijelaskan Imanuel Khan dan Ki Hajar Dewantoro, maka seharusnya pada tataran taktis atau pada tataran lembaga atau intitusi pendidikan bisa menjadikan pola pendidikan yang ada khususnya pada kampus sebagai tempat dimana ide, gagasan yang substansial itu ditampilkan, bukan hanya menjadi tempat lahirnya para penghafal dan pencatat teori materi yang diujikan oleh dosen. Ketika hal ini bisa diterapkan maka dipastikan kampus akan menjadi tempat para akademisi untuk saling berwacana, beradu argument, dan beradu pemikiran untuk menemukan solusi memperbaiki keadaan social. Refleksi kebelakang tentang bagaimana Ki Hajar Dewantoro mendirikan sebuah Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922, dimana pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu 1) Kodrat Alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; 5) Kemanusian,  yang berdasarkan Pancasila. Sehingga dari sini dapat dijelaskan makna yang tersirat dari Ki Hajar Dewantoro, bahwa seorang yang berpendidikan maka dia akan menjadi manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi sesama.
Ketika pendidikan menjadi pragmatis, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak dari kita malah lebih menikmati untuk menjalani hidup dan berkecimpung pada tataran akademis pragmatis, padahal kalau melihat Tri Dharma perguruan tinggi menyatkan bahwa mahasiswa atau dosen itu harus pertama. pendidikan dan pengajaran, kedua. penelitian dan pengembangan, ketiga. pengabdian pada masyarakat. Kalau pada saat ini banyak diantara kita hanya focus pada akademis yang pragmatis maka secara langsung kita telah melanggar tri dharma yang kedua dan ketiga, yaitu untuk menjadi mahasiswa yang meneliti dan mengembangkan serta mengabdi pada masyarakat.
Memang berat untuk menjalankan ketiga tri dharma tersebut, namun setidaknya setetes ilmu yang telah kita terima dan kita fahami bisa menjadi alat kita mengabdi pada masyarakat. Entah itu dengan ikut turun aksi membela rakyat, ikut menjadi voloenter LSM, menjadi anggota LSM, membuat LSM, dan lain sebaginya. Namun ketika memang sudah mentok tidak bisa menjadi mahasiswa yang mengabdi pada masyarakat, maka jadilah orang yang mensuport kawan-kawan yang berusaha selain akademis juga mengabdi pada masyarakat. Pragmatism pendidikan adalah sumber banyak bencana yang melanda bangsa kita, mari mulai dari diri untuk sadar dan bisa menjadi selayaknya dan berusaha yang menjalankan tri dharma perguruan tinggi, agar kedepannya adalah negara yang kita cintai ini, bangsa yang kita cintai ini, bisa menjadi bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan para pendiri negara ini, negara Indonesia.
Pendidikan menjadikan manusia lebih bisa bermanfaat bagi sesama.
(Faris I.I: 2013)
Prgamatisme pendidikan adalah awal para akademisi menjadi musuh bangsa
(Faris I.I: 2013)
 

*Penulis adalah Faris Imamuddin Ilmi, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Silahkan kirim kritik dan saran ke FB : Faris Muddin, TW: @FarisMuddin, Email: Faris13_xa@yahoo.com.

0 comments:

Post a Comment

 

Saling Berbagi Kebaikan Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates