Di Indonesia sebenarnya hari ibu yang dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional, moment ini memiliki sejarah pergerakan perempuan Indonesia yang sangat luar biasa. Misi diperingati Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Pada tahun 1959 presiden Soekrano mengeluarkan dekrit presiden No. 316 tahun 1959 yang menetapkan tanggal tersebut sebagai hari Nasional.
Ini berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan kongres perempuan pada tahun 1928. Organisasi perempuan sendiri sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1912. Kongres organisasi-organisasi perempuan ini pertama kali diadakan di Yogyakarta
pada tanggal 22 Desember 1928. Kongres tersebut dikenal sebagai kongres perempuan namun kongres tersebut lebih dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Selanjutnya kongres serupa diadakan di Jakarta dan Bandung.
Perayaan Hari Ibu diperingati dengan berbagai upaya oleh kaum perempuan kala itu, di Solo, misalnya, Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu dirayakan dengan cara aksi damai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.
Pada tahun 1950, pertama kalinya perempuan mendapatkan posisi menjadi menteri dalam cabinet Indonesia. Yang menjadi menteri pada waktu itu adalah Maria Ulfa. Berbagai momen tersebut merupakan momen yang sangatlah penting bagi kaum perempuan Indonesia. Pada masa pra kemerdekaan, kongres perempuan sangat berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan serta terlibat dalam pergerakan internasional. Di sini terlihat jelas bagaimana peran mereka dalam perpolitikan indonesia.
Perjuangan besar para pendahulu gerakan perempuan di Indonesia nampaknya direfleksikan berbeda saat ini, banyak masyarakat, lembaga pemerintah, organisasi perempuan yang menggelar kegiatan untuk merayakan Hari Ibu. Sayangnya sangat jauh dari semangat mengapa tanggal 22 Desember di tetapkan sebagai hari yang bersejarah bagi kaum ibu (perempuan Indonesia). Moment ini kini dirayakan hanya dengan hal-hal yang bersifat simbolis, juga masih mengukuhkan peran domestik perempuan Indonesia. Perlombaan menggunakan kebaya, pawai penggunaan kebaya atau baju tradisional perempuan Indonesia, atau diskon besar-besaran untuk kaum ibu dipusat perbelanjaan biasanya dijadikan event untuk merayakan hari ibu. Bahkan ada sebagian masyarakat yang merayakan Hari ibu dengan membebas-tugaskan peran ibu dari tugas-tugas domestik yang selama ini mengiringinya. Sebenarnya sah-sah saja merayakan hal itu dengan berbagai cara yang paling mungkin dilakukan, namun sayangnya agak ironi bila mengacu pada semangat tanggal ini ditetapkan. Setelah hampir 50 tahun lamanya realitas kondisi perempuan tidak banyak mengalami perubahan. Ia masih berada dalam wilayah domestic, meliburkan dari peran-peran domestiknya menunjukkan bahwa peran utamanya adalah domestic.
Namun demikian hal ini memang tidak bias dilepaskan dari system social masyarakat juga peran Negara dalam membangun jati diri perempuan Indonesia. Pada masa pemerintahan orde baru, Soeharto membuat program ”ideologisasi” kesadaran perempuan Indonesia yang, oleh Julia I. Surjakusuma, disebut ibuisme negara (state ibuism).
Dalam pandangan pemerintahan kala itu, meyakini bahwa ”kodrat” utama perempuan Indonesia adalah sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Segala emansipasi dan pemberdayaan perempuan, termasuk dengan menyekolahkannya di pendidikan tinggi, menjadi usaha sia-sia, karena akhirnya mereka harus menjadi istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Hal ini kemudian dijadikan ideology bersama masyarakay Indonesia (common ideology)
Wilayah eksistensial perempuan adalah kehidupan domestik dan privat. Jika terdapat perempuan yang berani keluar dari ideologi bersama itu, secara otomatis ia akan mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat sekitarnya. Pada perkembangannya, ideology yang diskriminatif ini semakin merasuk dan masuk dalam perspektif pengambil kebijakan dan kekuasaan negara. Ideology ini kemudian dilegalkan dalam produk kebijakan dengan lahirnya Panca Dharma Wanita, yang semakin menegaskan peran domestikasi perempuan. Tugas perempuan yang tertuang dalam Panca Darma Wanita yaitu; Perempuan sebagai pendamping suami, perempuan adalah penerus keturunan, perempuan adalah pengatur ekonomi, perempuan adalah pencari nafkah tambahan, dan perempuan wajib mengikuti kegiatan sosial (bukan kegiatan politik).
Selama Pemerintahan Orde Baru, paradigma tersebut secara terus menerus ditanamkan pada pemikiran perempuan di negeri ini. Akhirnya menjadi sebuah pola yang benar-benar diyakini kebenarannya, dan menjadi acuan langkah bagi perempuan. Jelas, hal ini merupakan satu bentuk kemunduran bagi perempuan.
Saskia Eleonora Wieringa (1995), seorang peneliti gerakan perempuan, dalam disertasinya menyebut kenyataan yang dilakukan kekuasaan di atas sebagai politisasi hubungan gender. Paradigma patriarkhisme publik yang mendiskriminasi hubungan gender perempuan dari laki-laki dipolitisasi sebagai sesuatu yang legal di hadapan hukum negara.
Sejak saat itulah, masyarakat Indonesia meyakini bahwa peran perempuan lebih sebagai sosok yang hidup dalam wilayah domestic melakukan peran reproduksi biologi (hamil, melahirkan menyusui) sekaligus melakukan peran-peran reproduksi social (memelihara anaknya, sekalian mencucikan pakaian anak dan suaminya, menyiapkan makan dan semua pekerjaan dalam rumah). Sehingga banyak perempuan yang kehilangan banyak kesempatan lainnya karena terlalu sibuk menyelesaikan peran-peran tersebut. Mereka bahkan ada yang tidak memiliki pilihan hidup, atau terpaksa mengambil peran itu tanpa sempat berharap ada kehidupan yang lain.
Ini adalah bukti keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam menciptakan system gender dalam masyarakat Indonesia. Laki-laki diciptakan sebagai mesin pencari uang keluarga, pemimpin yang patut diayomi, dan penguasa dalam berbagai sektornya. Padahal hidup akan lebih indah nyatanya bila semua bergandeng tangan laki-laki dan perempuan membangun bangsa dan Negara, sama-sama berkontribusi untuk pembangunan tanpa ada yang di diskriminasikan.
sumber: http://www.kompasiana.com/lely.rahma/meluruskan-ulang-makna-hari-ibu_54ff4607a333119e4c50f98d
0 comments:
Post a Comment