Friday 12 October 2012

0 Pergerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa



                Dari era ke era gerakan kepemudaan/mahasiswa memang sudah sejak lama dikenal sebagai gerakan pengusung berbagai perubahan. Selain memiliki semangat juang membara, para aktivis kepemudaan yang sebagian besar adalah mahasiswa juga dianggap memiliki intelektualitas tinggi dan kapasitas kepribadian yang telah mapan.
                Era awal gerakan kepemudaan/mahasiswa Indonesia dimulai pada 1928 yang menghasilkan
Sumpah Pemuda dengan ikrarnya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dengan merasa satu rasa, para pemuda/mahasiswa bersama rakyat bersatu terus-menerus memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga tiba masanya (1945) para pemuda mendesak golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Gerakan ini masih benar-benar murni berasal dari hati nurani rakyat yang telah bosan terus-menerus dipecah-belah para penjajah.
                Masa kepemimpinan Soekarno bisa dibilang sebagai masa keemasan negeri ini. Bung Karno memang sangat berani melawan investor asing yang coba-coba ingin mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Banyak program Bung Karno yang membuat Indonesia menjadi negeri yang disegani dunia. Sayangnya, hal ini justru membuat segala keputusan yang ia buat adalah suatu kebenaran. Sehingga Bung Karno pun berani melakukan pelanggaran konstitusional, yaitu memproklamasikan dirinya sebagai presiden seumur hidup.                Di samping mendapat apresiasi positif, kepemimpinan Bung Karno juga membuat geram Amerika Serikat (AS) dan sekutunya karena mereka takut kalau Indonesia menjadi negara besar. Hal inilah yang membuat para intel AS, khususnya CIA, membuat strategi untuk menghentikan kepemimpinan Bung Karno di Indonesia serta menggantikannya dengan orang yang pro CIA.
                Era perang dingin antara blok Barat (AS) dan blok Timur (Russia), membuat Bung Karno berinisiatif mencanangkan gerakan nonblok. Namun pada praktiknya, di dalam negeri, Bung Karno cenderung menganakemaskan PKI dan bahkan mencanangkan nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) dalam bernegara. Kondisi-kondisi di atas menjadi sela bagi CIA untuk mengekskalasi massa menurunkan kepemimpinan Bung Karno dan menggantikannya dengan Soeharto. Mahasiswa, yang saat itu hanya ada satu universitas, yaitu Universitas Indonesia (yang tersebar di berbagai daerah dan kini sudah menjadi berbagai universitas negeri), diberikan jaket kuning untuk kembali melakukan pergerakan. Dari sinilah awal pergerakan kepemudaan/mahasiswa tidak lagi berdasar hati nurani rakyat.
                Setelah Soeharto naik menjadi presiden, tiba-tiba saja mahasiswa tidak diperbolehkan melakukan pergerakan karena diberlakukannya NKK/BKK. Pembungkaman juga merambah pada aktivis di luar kampus. Bahkan orang-orang yang berani bersuara saat itu, harus menanggung berbagai risiko pembungkaman seperti maraknya kasus orang hilang, petrus (penembak misterius), atau bahkan dipenjara seperti yang dialami Sri Bintang Pamungkas. Masa ini membuat Soeharto menjadi tidak terbatas kekuasaannya hingga dengan terang benderang melakukan KKN dengan menggandeng sanak saudara dan keluarga sebagai dalam pemerintahan. Merajarelanya pengusaha China yang dikenal sebagai kroninya Soeharto dan semakin sulitnya pengusaha pribumi untuk mendirikan usaha turut menambah amarah rakyat. Hal ini membuat rakyat dan mahasiswa kembali melakukan pergerakan.
                Sejak awal berdirinya, gerakan mahasiswa sudah terbagi dalam dua aliansi: kanan dan kiri. Aliansi kanan cenderung berdasar pada nilai-nilai agama dan moralitas sehingga meskipun melakukan gerakan besar-besaran, namun tetap rapih dan tertata. Sedangkan gerakan kiri cenderung mengusung nilai-nilai revolusi yang memaklumkan adanya korban jiwa di dalamnya. Jika isu yang diusung sama, maka akan melakukan pergerakan yang sama meski dengan modelnya masing-masing. Yang membedakan dari tiap gerakan adalah dominasinya, jika didominasi gerakan kanan, maka kecenderungan akan rusuh dan memakan korban akan sangatlah kecil. Sebaliknya, jika pergerakan didominasi aliansi kiri, maka siap-siaplah dengan sejumlah korban jiwa yang bergelimpangan.
                Yang terjadi pada era ’98 adalah bersatunya berbagai model pergerakan mahasiswa sehingga ada yang tertata rapih dan ada yang rusuh. Beruntung, kondisi saat itu didukung oleh salah satu tokoh gerakan kanan, Amien Rais, sehingga pergerakan menjadi terarah. Mahasiswa pun berjanji akan terus mengawal reformasi dengan 6 visinya: amandemen konstitusi, cabut dwi fungsi TNI, penegakkan supremasi hukum, otonomi daerah, budayakan demokrasi, serta mengadili Soeharto dan kroninya. Perjalananan mahasiswa mengawal 6 visi reformasi ternyata juga tidak semulus yang dibayangkan karena dari sinilah salah satu partai politik mulai melakukan kaderisasinya dengan pengakaran melalui pembentukan jaringan dari skala besar (kampus/wilayah/provinsi) hingga ke skala kecil (lingkup jurusan dan angkatan). Saat partai politik tersebut masih berskala partai gurem, segala aspirasi yang disampaikan melalui pergerakan mahasiswa masih berkisar pada kepentingan rakyat sehingga pergerakan mahasiswa masih terasa massif dan jaringan yang dibentuk diamini sebagian besar mahasiswa.
                Namun kondisi berbeda terjadi ketika partai politik tersebut sudah menjadi partai besar yang berkoalisi dengan partai penguasa negeri. Pergerakan pun sedikit demi sedikit mulai dikurangi porsinya. Mahasiswa yang telanjur menjadi kader parpol tersebut praktis mengikuti apa pun yang disampaikan dewan syuro parpol terkait. Sebaliknya, mahasiswa yang telanjur terbiasa menyuarakan hati nurani rakyat terpaksa didepak dari kaderisasi hingga pada 2003 terjadi perpecahan pergerakan mahasiswa aliansi kanan. Gerakan mahasiswa kanan yang terpecah ini sama sekali tidak kuat karena berjalan dengan visi-misnya masing-masing.
                Ternyata, dari masa ke masa, pergerakan mahasiswa selalu saja disusupi berbagai kepentingan politik. Namu/n tiada kata jera dalam perjuangan.

                Demonstrasi mahasiswa hari-hari belakangan ini sedang disorot publik. Berungkali demonstrasi mahasiswa berujung bentrok. Sejumlah pihak menyebutnya sebagai indikator bahwa Gerakan Mahasiswa semakin radikal. Terdapat pula analisis mengapa demonstrasi mahasiswa seringkali berakhir dengan baku hantam.
Misalnya analisis psiko-lapangan, yakni baku hantam terjadi karena semata-mata konsekuensi dari ‘kondisi lapangan yang tidak terduga’. Meski dapat diterima, tesis psiko-lapangan saja belum cukup menjelaskan mengapa Gerakan Mahasiswa mengambil sikap ‘siap’ bentrok dengan aparat.
 Tidak selalu huru-hara
Analisis radikalitas Gerakan Mahasiswa dengan mendasarkan pada ‘pencapaian gerakan’ dalam aksinya yang berujung bentrok tentu masih berupa analisis yang dini. Jika kita meninjau tradisi Gerakan Mahasiswa di Indonesia, radikalitas ternyata tidak selalu ditunjukkan dengan kekerasan (benturan fisik). Radikalitas secara sederhana dapat dipahami sebagai ‘derajat perlawanan’ terhadap rezim yang tidak pro rakyat, karena Gerakan Mahasiswa mentasbihkan dirinya sebagai pembela rakyat.
Radikalitas Gerakan Mahasiswa pada periode sebelum kemerdekaan dalam buku pelajaran sejarah dikategorikan termasuk dalam ‘gerakan pemuda’ meski aktivisnya berstatus mahasiswa misalnya, radikalitas dapat dilihat dari pilihan atas dua sikap: cooperasi, dan non cooperasi. Gerakan yang bersikap non co dianggap radikal meskipun pola geraknya tidak menggunakan kekerasan (perjuangan fisik). PKI yang memberontak tahun 1926/1927 dianggap radikal, tetapi SI, PNI atau Ki Hajar Dewantara yang menulis artikel ‘Seandainya Saya Seorang Belanda’ atau sang kakak Suryopratomo yang dikenal sebagai ‘Raja Pemogokan’—tanpa kekerasan juga dianggap radikal meski berjuang dengan tinta dan diam (baca: mogok).
Pada periode 1966 misalnya, Gerakan Mahasiswa dianggap radikal karena berani berbeda sikap dengan penguasa. Radikalitas Gerakan Mahasiswa ditandai dengan serangkaian demonstrasi hampir setiap hari, di antaranya memang berakhir bentrok dan menewaskan sejumlah mahasiswa dan pelajar yang kemudian kita anugerahi gelar Pahlawan Ampera. Pada periode ini, sayap pemuda sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan banyak melakukan stratak ‘perlawanan’ dengan kekerasan hingga pembunuhan aktivis partai komunis. Namun emblem gerakan radikal justru disematkan pada Gerakan Mahasiswa. Menjadi jelas, bahwa radikalitas Gerakan Mahasiswa diukur dari dua hal: derajat perlawanan dan derajat intelektualitas.
 Karakteristik gerakan
Selain tesis psiko-lapangan perlu ditambahkan analisis karakteristik gerakan untuk menjelaskan sebab ‘demonstrasi berujung bentrok’ pada Gerakan Mahasiswa. Gerakan Mahasiswa setidaknya memiliki tiga karakteristik utama: memanfaatkan momentum (reaksioner), vis a vis negara dan bersifat ekstraparlementer. Pilihan stratak demonstrasi setidaknya disebabkan empat hal:
Pertama, kepada pihak dilawan (baca: penguasa) demonstrasi masih diyakini sebagai taktik-penekan yang efektif terutama bila dilakukan secara masif dan dengan besaran massa yang besar. Kedua, secara internal demonstrasi menjadi wahana konsolidasi antaraktivis sekaligus wahana eksistensi lembaga organisasi mahasiswa. Sudah jamak dalam Gerakan Mahasiswa bila organisasi mahasiswa tidak cepat merespons situasi, tuduhan bahwa Gerakan Mahasiswa ‘ada apa-apanya’ (baca: sudah ‘dibeli’ untuk diam) justru menguat. Demonstrasi menjadi jawaban taktis terhadap ‘tuduhan’ ini.
Ketiga, kepada masyarakat, demonstrasi apalagi berakhir bentrok dapat membangkitkan solidaritas publik dan menjadi sikap perlawanan masyarakat (untuk mendukung mahasiswa). Karena itu bentrok yang terjadi bukan tidak mungkin telah direncanakan terlebih dahulu.
 Alternatif perlawanan
Karakteristik Gerakan Mahasiswa yang memanfaatkan momentum membuat Gerakan Mahasiwa menjadi reaksioner (sekaligus apriori). Pola ini dapat dicermati dari perspektif isu demonstrasi: menolak atau menuntut (pemenuhan atau pembatalan kebijakan). Padahal Gerakan Mahasiswa mestinya dapat melangkah menjadi ‘gerakan pelopor’ dengan isu demonstrasi: menawarkan. Pada banyak isu demonstrasi, Gerakan Mahasiswa baru bergerak ketika isu atau kebijakan beberapa saat lagi akan ditetapkan. Sangat jarang isu disikapi ketika sedang dirumuskan oleh pemerintah atau dewan.
‘Gerakan pelopor’ yang dilakukan selama ini masih banyak bermain pada wilayah normatif dan seremonial (memanfaatkan momentum). Misalnya demonstrasi dengan isu mencintai lingkungan, umumnya memanfaatkan momentum Hari Bumi. Sesaat setelah seremoni usai, Gerakan Mahasiswa dengan cepat berganti isu. ‘Gerakan pelopor’ Gerakan Mahasiswa sebenarnya strategis untuk digarap. Misalnya berdemonstrasi menawarkan alternatif yang sedapat mungkin runut, dan sistematis tidak sekedar bahasa jargon dalam poster demonstrasi pada isu-isu aktual yang sedang terjadi.

0 comments:

Post a Comment

 

Saling Berbagi Kebaikan Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates