Dari era ke era
gerakan kepemudaan/mahasiswa memang sudah sejak lama dikenal sebagai gerakan
pengusung berbagai perubahan. Selain memiliki semangat juang membara, para
aktivis kepemudaan yang sebagian besar adalah mahasiswa juga dianggap memiliki
intelektualitas tinggi dan kapasitas kepribadian yang telah mapan.
Era awal gerakan
kepemudaan/mahasiswa Indonesia dimulai pada 1928 yang menghasilkan
Sumpah
Pemuda dengan ikrarnya satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dengan merasa
satu rasa, para pemuda/mahasiswa bersama rakyat bersatu terus-menerus
memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga tiba masanya (1945) para
pemuda mendesak golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI.
Gerakan ini masih benar-benar murni berasal dari hati nurani rakyat yang telah
bosan terus-menerus dipecah-belah para penjajah.
Masa kepemimpinan
Soekarno bisa dibilang sebagai masa keemasan negeri ini. Bung Karno memang
sangat berani melawan investor asing yang coba-coba ingin mengeruk kekayaan
bumi Indonesia. Banyak program Bung Karno yang membuat Indonesia menjadi negeri
yang disegani dunia. Sayangnya, hal ini justru membuat segala keputusan yang ia
buat adalah suatu kebenaran. Sehingga Bung Karno pun berani melakukan
pelanggaran konstitusional, yaitu memproklamasikan dirinya sebagai presiden
seumur hidup. Di samping
mendapat apresiasi positif, kepemimpinan Bung Karno juga membuat geram Amerika
Serikat (AS) dan sekutunya karena mereka takut kalau Indonesia menjadi negara
besar. Hal inilah yang membuat para intel AS, khususnya CIA, membuat strategi
untuk menghentikan kepemimpinan Bung Karno di Indonesia serta menggantikannya
dengan orang yang pro CIA.
Era perang dingin
antara blok Barat (AS) dan blok Timur (Russia), membuat Bung Karno berinisiatif
mencanangkan gerakan nonblok. Namun pada praktiknya, di dalam negeri, Bung
Karno cenderung menganakemaskan PKI dan bahkan mencanangkan nasakom
(nasionalis, agama, dan komunis) dalam bernegara. Kondisi-kondisi di atas
menjadi sela bagi CIA untuk mengekskalasi massa menurunkan kepemimpinan Bung
Karno dan menggantikannya dengan Soeharto. Mahasiswa, yang saat itu hanya ada satu
universitas, yaitu Universitas Indonesia (yang tersebar di berbagai daerah dan
kini sudah menjadi berbagai universitas negeri), diberikan jaket kuning untuk
kembali melakukan pergerakan. Dari sinilah awal pergerakan kepemudaan/mahasiswa
tidak lagi berdasar hati nurani rakyat.
Setelah Soeharto
naik menjadi presiden, tiba-tiba saja mahasiswa tidak diperbolehkan melakukan
pergerakan karena diberlakukannya NKK/BKK. Pembungkaman juga merambah pada
aktivis di luar kampus. Bahkan orang-orang yang berani bersuara saat itu, harus
menanggung berbagai risiko pembungkaman seperti maraknya kasus orang hilang,
petrus (penembak misterius), atau bahkan dipenjara seperti yang dialami Sri
Bintang Pamungkas. Masa ini membuat Soeharto menjadi tidak terbatas kekuasaannya
hingga dengan terang benderang melakukan KKN dengan menggandeng sanak saudara
dan keluarga sebagai dalam pemerintahan. Merajarelanya pengusaha China yang
dikenal sebagai kroninya Soeharto dan semakin sulitnya pengusaha pribumi untuk
mendirikan usaha turut menambah amarah rakyat. Hal ini membuat rakyat dan
mahasiswa kembali melakukan pergerakan.
Sejak awal
berdirinya, gerakan mahasiswa sudah terbagi dalam dua aliansi: kanan dan kiri.
Aliansi kanan cenderung berdasar pada nilai-nilai agama dan moralitas sehingga
meskipun melakukan gerakan besar-besaran, namun tetap rapih dan tertata.
Sedangkan gerakan kiri cenderung mengusung nilai-nilai revolusi yang
memaklumkan adanya korban jiwa di dalamnya. Jika isu yang diusung sama, maka
akan melakukan pergerakan yang sama meski dengan modelnya masing-masing. Yang
membedakan dari tiap gerakan adalah dominasinya, jika didominasi gerakan kanan,
maka kecenderungan akan rusuh dan memakan korban akan sangatlah kecil.
Sebaliknya, jika pergerakan didominasi aliansi kiri, maka siap-siaplah dengan
sejumlah korban jiwa yang bergelimpangan.
Yang terjadi pada
era ’98 adalah bersatunya berbagai model pergerakan mahasiswa sehingga ada yang
tertata rapih dan ada yang rusuh. Beruntung, kondisi saat itu didukung oleh
salah satu tokoh gerakan kanan, Amien Rais, sehingga pergerakan menjadi
terarah. Mahasiswa pun berjanji akan terus mengawal reformasi dengan 6 visinya:
amandemen konstitusi, cabut dwi fungsi TNI, penegakkan supremasi hukum, otonomi
daerah, budayakan demokrasi, serta mengadili Soeharto dan kroninya.
Perjalananan mahasiswa mengawal 6 visi reformasi ternyata juga tidak semulus
yang dibayangkan karena dari sinilah salah satu partai politik mulai melakukan
kaderisasinya dengan pengakaran melalui pembentukan jaringan dari skala besar
(kampus/wilayah/provinsi) hingga ke skala kecil (lingkup jurusan dan angkatan).
Saat partai politik tersebut masih berskala partai gurem, segala aspirasi yang
disampaikan melalui pergerakan mahasiswa masih berkisar pada kepentingan rakyat
sehingga pergerakan mahasiswa masih terasa massif dan jaringan yang dibentuk
diamini sebagian besar mahasiswa.
Namun kondisi
berbeda terjadi ketika partai politik tersebut sudah menjadi partai besar yang
berkoalisi dengan partai penguasa negeri. Pergerakan pun sedikit demi sedikit
mulai dikurangi porsinya. Mahasiswa yang telanjur menjadi kader parpol tersebut
praktis mengikuti apa pun yang disampaikan dewan syuro parpol terkait.
Sebaliknya, mahasiswa yang telanjur terbiasa menyuarakan hati nurani rakyat
terpaksa didepak dari kaderisasi hingga pada 2003 terjadi perpecahan pergerakan
mahasiswa aliansi kanan. Gerakan mahasiswa kanan yang terpecah ini sama sekali
tidak kuat karena berjalan dengan visi-misnya masing-masing.
Ternyata, dari
masa ke masa, pergerakan mahasiswa selalu saja disusupi berbagai kepentingan
politik. Namu/n tiada kata jera dalam perjuangan.
Demonstrasi mahasiswa hari-hari
belakangan ini sedang disorot publik. Berungkali demonstrasi mahasiswa berujung
bentrok. Sejumlah pihak menyebutnya sebagai indikator bahwa Gerakan Mahasiswa
semakin radikal. Terdapat pula analisis mengapa demonstrasi mahasiswa
seringkali berakhir dengan baku hantam.
Misalnya analisis
psiko-lapangan, yakni baku hantam terjadi karena semata-mata konsekuensi dari
‘kondisi lapangan yang tidak terduga’. Meski dapat diterima, tesis
psiko-lapangan saja belum cukup menjelaskan mengapa Gerakan Mahasiswa mengambil
sikap ‘siap’ bentrok dengan aparat.
Tidak
selalu huru-hara
Analisis
radikalitas Gerakan Mahasiswa dengan mendasarkan pada ‘pencapaian gerakan’
dalam aksinya yang berujung bentrok tentu masih berupa analisis yang dini. Jika
kita meninjau tradisi Gerakan Mahasiswa di Indonesia, radikalitas ternyata
tidak selalu ditunjukkan dengan kekerasan (benturan fisik). Radikalitas secara
sederhana dapat dipahami sebagai ‘derajat perlawanan’ terhadap rezim yang tidak
pro rakyat, karena Gerakan Mahasiswa mentasbihkan dirinya sebagai pembela
rakyat.
Radikalitas Gerakan
Mahasiswa pada periode sebelum kemerdekaan dalam buku pelajaran sejarah
dikategorikan termasuk dalam ‘gerakan pemuda’ meski aktivisnya berstatus
mahasiswa misalnya, radikalitas dapat dilihat dari pilihan atas dua sikap:
cooperasi, dan non cooperasi. Gerakan yang bersikap non co dianggap radikal
meskipun pola geraknya tidak menggunakan kekerasan (perjuangan fisik). PKI yang
memberontak tahun 1926/1927 dianggap radikal, tetapi SI, PNI atau Ki Hajar
Dewantara yang menulis artikel ‘Seandainya Saya Seorang Belanda’ atau sang
kakak Suryopratomo yang dikenal sebagai ‘Raja Pemogokan’—tanpa kekerasan juga
dianggap radikal meski berjuang dengan tinta dan diam (baca: mogok).
Pada periode 1966
misalnya, Gerakan Mahasiswa dianggap radikal karena berani berbeda sikap dengan
penguasa. Radikalitas Gerakan Mahasiswa ditandai dengan serangkaian demonstrasi
hampir setiap hari, di antaranya memang berakhir bentrok dan menewaskan sejumlah
mahasiswa dan pelajar yang kemudian kita anugerahi gelar Pahlawan Ampera. Pada
periode ini, sayap pemuda sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan
banyak melakukan stratak ‘perlawanan’ dengan kekerasan hingga pembunuhan
aktivis partai komunis. Namun emblem gerakan radikal justru disematkan pada
Gerakan Mahasiswa. Menjadi jelas, bahwa radikalitas Gerakan Mahasiswa diukur
dari dua hal: derajat perlawanan dan derajat intelektualitas.
Karakteristik gerakan
Selain tesis
psiko-lapangan perlu ditambahkan analisis karakteristik gerakan untuk
menjelaskan sebab ‘demonstrasi berujung bentrok’ pada Gerakan Mahasiswa.
Gerakan Mahasiswa setidaknya memiliki tiga karakteristik utama: memanfaatkan
momentum (reaksioner), vis a vis negara dan bersifat ekstraparlementer. Pilihan
stratak demonstrasi setidaknya disebabkan empat hal:
Pertama, kepada
pihak dilawan (baca: penguasa) demonstrasi masih diyakini sebagai
taktik-penekan yang efektif terutama bila dilakukan secara masif dan dengan
besaran massa yang besar. Kedua, secara internal demonstrasi menjadi wahana
konsolidasi antaraktivis sekaligus wahana eksistensi lembaga organisasi
mahasiswa. Sudah jamak dalam Gerakan Mahasiswa bila organisasi mahasiswa tidak
cepat merespons situasi, tuduhan bahwa Gerakan Mahasiswa ‘ada apa-apanya’
(baca: sudah ‘dibeli’ untuk diam) justru menguat. Demonstrasi menjadi jawaban
taktis terhadap ‘tuduhan’ ini.
Ketiga, kepada
masyarakat, demonstrasi apalagi berakhir bentrok dapat membangkitkan
solidaritas publik dan menjadi sikap perlawanan masyarakat (untuk mendukung
mahasiswa). Karena itu bentrok yang terjadi bukan tidak mungkin telah
direncanakan terlebih dahulu.
Alternatif perlawanan
Karakteristik
Gerakan Mahasiswa yang memanfaatkan momentum membuat Gerakan Mahasiwa menjadi
reaksioner (sekaligus apriori). Pola ini dapat dicermati dari perspektif isu
demonstrasi: menolak atau menuntut (pemenuhan atau pembatalan kebijakan).
Padahal Gerakan Mahasiswa mestinya dapat melangkah menjadi ‘gerakan pelopor’
dengan isu demonstrasi: menawarkan. Pada banyak isu demonstrasi, Gerakan
Mahasiswa baru bergerak ketika isu atau kebijakan beberapa saat lagi akan
ditetapkan. Sangat jarang isu disikapi ketika sedang dirumuskan oleh pemerintah
atau dewan.
‘Gerakan pelopor’
yang dilakukan selama ini masih banyak bermain pada wilayah normatif dan
seremonial (memanfaatkan momentum). Misalnya demonstrasi dengan isu mencintai
lingkungan, umumnya memanfaatkan momentum Hari Bumi. Sesaat setelah seremoni
usai, Gerakan Mahasiswa dengan cepat berganti isu. ‘Gerakan pelopor’ Gerakan
Mahasiswa sebenarnya strategis untuk digarap. Misalnya berdemonstrasi
menawarkan alternatif yang sedapat mungkin runut, dan sistematis tidak sekedar
bahasa jargon dalam poster demonstrasi pada isu-isu aktual yang sedang terjadi.
0 comments:
Post a Comment